tag:blogger.com,1999:blog-54053739139878074302024-02-20T01:27:13.168-08:00PapuaArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.comBlogger1125tag:blogger.com,1999:blog-5405373913987807430.post-86806309467937115802010-03-21T10:17:00.000-07:002010-03-21T10:22:31.444-07:00Luna Vidya<div style="text-align: justify;">Kelahiran danau Sentani, Papua.<br />Luna Vidya lahir di Sentani, Papua, Luna Vidya, bermain teater sejak tahun 1984 di Makassar bersama berbagai kelompok teater di kota itu, sejak datang ke Makassar setelah menamatkan SMAnya di Jayapura. Bergabung dengan Teater Kampus Universitas Hassanuddin, Ia makin mengokohkan dirinya sebagai salah satu pemain teater terbaik Sulawesi Selatan.<br />Ia memfokuskan diri pada ruang-ruang teater monolog, memainkan naskah-naskah orang lain, LV juga menulis naskahnya sendiri (Meja Makan, Pagar, Garis) dan membuat adaptasi dari cerita-cerita pendek untuk keperluan itu. "Makkunrai", "Dapur" adalah naskah monolog yang iia sadur dari cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Lily Julianti dalam kumpulan cerpen "Makkunrai" [bahasaBugis :Perempuan]. Bersama Lily, Makkunrai menjadi titik awal bergulirnya Makkunrai Project (2007), sebuah proyek pembelajaran berdimensi gender lewat penulisan sastra dan pementasan panggung.<br />Untuk hidupnya, Luna Vidya bekerja sebagai Communication Coordinator Sustainable Mariculture Project di Makassar, Sulawesi Selatan.<br />PUISI-PUISI ANAK SENTANI, antara lain :<br /></div><br /><span style="font-weight: bold;">Mencapai Bulan </span><br /><br /> Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan<br />Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan<br />Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang<br />sulur tanpa penopang<br />telah mencapai bulan<br />tanpa warna. Atau hitam?<br /><br />March 2008<br /><br />viernes 7 de marzo de 2008 <br /><br /><span style="font-weight: bold;">Manggigil </span><br /> <br /> Batu di ombak itu,<br />berdiri di pantai tanpa angin,<br />memaku mata pada laut yang tak mengalun<br />sambil mengunyah waktu<br />dan pada lembah-lembah hari<br />Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan<br />jadi helai angin<br /><br /> Batu ombak itu,<br />mata bermuara tanya,<br />Kenapa pilu riang bermain gelombang<br />Kenapa cinta tak hendak pulang<br />Ketika laut tak mengantar apa-apa,<br />Juga angin tak memuat berita?<br /><br /> Batu di ombak itu<br />adalah bongkah duka<br />lupa pada namanya,<br />yang tanya di mata : " Kenapa kelu?"<br />Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting<br />Berendam tenang di sekujur lukanya<br /><br /> pantai berangin, laut mengalun<br />batu ombak itu<br />telah menjelma aku<br />Cadas. Diam. Penuh binatang karang.<br />Di kedalaman,<br />adalah ketenangan yang ganjil.<br />Sedih yang menggigil<br /><br />*Manggigil = menggigil (Maluku)<br /><br />March, 2008<br /><br /><br /> miƩrcoles 5 de marzo de 2008<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Yang Tumbuh, Aneh Sungguh</span><br /> <br /> Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu<br />Di bawah palem baru melepas pelepahnya<br />Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi.<br />Selalu menyapa hari seperti ini,<br />gerimis yang menusukan sepi<br /><br />Asa lepas seperti hangat tubuh pergi<br />dalam dingin. Lalu bersendiri<br />seperti pelepah<br />kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih<br />Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim.<br />Seperti sarapan pagi, kupenuhi hasrat dengan dengki.<br />Berharap ia jadi serbuk hitam pemati rasa untuk menghalau raung dan aum<br />Rindu yang menggigil dengan mata berdarah<br />Di dalam hujan,<br />Kuyup tanah hati , olehnya. Merah.<br /><br /> Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu,<br />Selalu menyapa sepi seperti ini,<br />Gerimis mencengkram hati kusut<br />menyisirnya dengan kuku sepi<br />Dan Rindu adalah pelepah tua tengadah<br />Terkuak pasrah<br />pada sayat sepi dalam genggam gerimis<br />menatap tak lepas<br />Datangnya ayun tangan yang membuat mata berdarah.<br /><br /> Lama setelah itu, orang lalu<br />melihat tunas berdaun semanggi menyemak di mataku,<br />Kata mereka: "kau ditumbuhi cinta"<br /> <br /> <span style="font-weight: bold;">Ichthus</span><br /> <br /> berenang di laut luka<br />matahari<br />ombak<br />karang<br />sengat segala laut<br />mengupasku<br />hingga tulang<br /><br />aku menjelma ikan<br /><br />2007<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Jalan-jalan Kecil Ke Rumah </span><br /> <br /> <br /> "rumahku di jayapura, papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter dari<br />jalan umum di bawahnya.<br /><br />jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung,<br />bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.<br /><br /> di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya<br />aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang".Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com1